Cari Blog Ini

Selasa, 25 Desember 2012

Mengembalikan Makna Hari Ibu 2012



Hai Sobat Secreters - Apa yang ada dibenak Anda ketika mendengar kata “Hari Ibu”? Apa berarti hari di mana kita menyayangi Ibu seharian, memberi hadiah spesial untuk Ibu, lomba masak dan semacamnya?  Kalau iya, maka saatnya merubah cara pandang itu
Ada yang keliru dengan perayaan Hari Ibu akhir-akhir ini. Hari Ibu cenderung diartikan sebagai “Mother’s Day”, yaitu hari di mana kita memperingati kebesaran dan kemuliaan seorang Ibu yang melahirkan kita sebagai seorang anak. Memang tidak salah jika kita menjadikan hari ini moment spesial untuk Ibu. Tapi bicara soal peringatan Hari Ibu,  kita perlu melangkah lebih dari itu sesuai dengan spirit lahirnya Hari Ibu.

Sejarah Hari Ibu
Tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu melalui hasil Dekrit Presiden Nomor 316, yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 1959 di Gedung Mandalabhakti Wanitatama, Yogyakarta.  Tanggal ini sengaja dipilih untuk mengenang kongres perempuan pertama yang diadakan pada 22 Desember 1928 (Widyastuti Purbani, Jurnal Perempuan).
Sebelum sampai ke pengukuhan Hari Ibu,  kaum perempuan Indonesia (bukan hanya Ibu-Ibu tapi juga remaja) tersebut telah melalui proses yang sangat panjang (sejak periode sebelum kemerdekaan) dalam memperjuangkan keadaan yang lebih baik, lebih memihak dan lebih berkeadilan.
Sebelumnya, telah terjadi beberapa kali kongres perempuan. Di mana dalam setiap kongres, perempuan ikut serta berkomitmen untuk mulai ikut serta dalam perjuangan melawan penjajah.  Antara lain, mereka mendirikan dapur umum, klinik berjalan, membantu tentara Republik Indonesia, bekerjasama dan mendukung  gerakan perempuan progresif di Belanda (dengan mengirimkan surat tanda penghargaan kepada perempuan yang mengecam penyerangan kolonial Belanda terhadap Indonesia) dan mengadvokasi perbaikan peraturan-peraturan dalam bidang pendidikan, hukum, politik, dan sebagainya (Baca: Sejarah Perempuan Indonesia, Cora  Vreede –De Stuers).
Penggunaan kata “Ibu” membuat sebagian besar orang memahami sebagai “Ibu” yang melahirkan seorang anak atau Ibu kandung kita. Padahal, Ibu yang dimaksud adalah para perempuan yang saat itu berjuang. Jadi, Ibu disini bisa berarti dia seorang guru, tante, kakak, dan perempuan lainnya.
Jadi, semangat ditetapkannya Hari Ibu adalah untuk mengenang kembali perjuangan Perempuan (Sekali lagi bukan hanya Ibu) dalam meletakkan dasar-dasar kemerdekaan Republik Indonesia pada umumnya, dan kebangkitan simbol Perempuan pada khususnya.
Ibu Transformatif
Saat ini kita sudah harus melangkah lebih jauh. Bukan lagi sekedar mengingat kembali perjuangan para perempuan di masa lalu, tapi apa yang bisa kita lakukan saat ini dan ke depan.
Dalam pandangan saya, generasi muda sekarang -yang adalah calon Ibu bagi siapa pun- harus melakukan tranformasi dalam segala hal. Baik di internal diri maupun secara eksternal. Transformasi di sini diartikan sebagai langkah- langkah pembaruan dan pengembangan diri untuk menghadapi dinamika kehidupan.
Pemahaman tentang posisi dan peran Ibu yang sama serta seimbang dengan Ayah harus dibangun sejak dini. Perempuan seyogyanya mempersiapkan diri, baik secara afektif (mental) mapun kognitif (pemikiran) sebelum memasuki dunia rumah tangga.
Tentu kita tidak ingin menjadi Ibu seperti yang hampir setiap hari diberitakan di media. Mengalami penekanan, pelecehan dan penyiksaan oleh suami karena tidak mengerjakan urusan-urusan domestik. Belum lagi bicara sanksi sosial yang datang dari cibiran masyarakat. Di mana Ibu (perempuan) melulu diposisikan sebagai makhluk yang kodratnya harus tinggal di rumah menjaga anak-anak, suami dan harta.
Kita ingin menjadi Ibu yang bisa menyeimbangkan segalanya, baik urusan privat maupun urusan publik. Apapun yang kita lakukan adalah hasil pilihan yang didasarkan pada kesadaran dan pengetahuan yang cukup sehingga mengetahui konsekuensi yang mengikutinya.
Seorang Ibu yang cerdas akan menjadikan dirinya sebagai contoh yang baik dan sekolah pertama bagi anak-anaknya di rumah. Mereka tidak akan membiarkan anaknya hanya tumbuh dengan ilmu dan pengetahuan dari sekolah formal, tapi juga dari lingkungan sekitar. Ibu akan mendidik anaknya untuk mengerti arti kehidupan melalui sekolah kehidupan. Sedari kecil, anak-anaknya diajarkan tentang kebesaran Tuhan yang menciptakan keberagaman di dunia, sehingga mereka harus mensyukuri dan menghargai semua ciptaan-Nya.
Lebih jauh lagi, semua itu idealnya dilakukan bukan hanya saat menjadi Ibu dari anak-anak yang kita lahirkan, bahkan dari sekarang kita telah menjadi Ibu bagi siapa pun. Seorang perempuan harus menjadi makhluk pembelajar dalam segala hal. Ini adalah modal penting dalam menghadapi kehidupan. Sejatinya begitulah hakikat manusia. Manusia yang selalu belajar untuk sampai pada kebenaran yang sejati.
Oleh: Milastri Muzakkar*
*Penulis adalah mantan Kabid. Eksternal Kohati HMI Cab. Ciputat.
(Dipresentasikan pada diskusi “Hari Ibu”, Kohati Cab. Ciputat, 21 Desember 2012, Aula Insan Cita).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar