Hai Sobat Secreters - Apa yang ada
dibenak Anda ketika mendengar kata “Hari Ibu”? Apa berarti hari di mana kita
menyayangi Ibu seharian, memberi hadiah spesial untuk Ibu, lomba masak dan
semacamnya? Kalau iya, maka saatnya merubah cara pandang itu
Ada yang keliru dengan perayaan Hari
Ibu akhir-akhir ini. Hari Ibu cenderung diartikan sebagai “Mother’s Day”, yaitu
hari di mana kita memperingati kebesaran dan kemuliaan seorang Ibu yang
melahirkan kita sebagai seorang anak. Memang tidak salah jika kita menjadikan
hari ini moment spesial untuk Ibu. Tapi bicara soal peringatan Hari Ibu,
kita perlu melangkah lebih dari itu sesuai dengan spirit lahirnya Hari
Ibu.
Sejarah Hari Ibu
Tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai
Hari Ibu melalui hasil Dekrit Presiden Nomor 316, yang dikeluarkan Presiden
Soekarno pada 1959 di Gedung Mandalabhakti Wanitatama, Yogyakarta. Tanggal
ini sengaja dipilih untuk mengenang kongres perempuan pertama yang diadakan
pada 22 Desember 1928 (Widyastuti Purbani, Jurnal Perempuan).
Sebelum sampai ke pengukuhan Hari
Ibu, kaum perempuan Indonesia (bukan hanya Ibu-Ibu tapi juga remaja)
tersebut telah melalui proses yang sangat panjang (sejak periode sebelum
kemerdekaan) dalam memperjuangkan keadaan yang lebih baik, lebih memihak dan
lebih berkeadilan.
Sebelumnya, telah terjadi beberapa kali
kongres perempuan. Di mana dalam setiap kongres, perempuan ikut serta
berkomitmen untuk mulai ikut serta dalam perjuangan melawan penjajah.
Antara lain, mereka mendirikan dapur umum, klinik berjalan, membantu tentara
Republik Indonesia, bekerjasama dan mendukung gerakan perempuan progresif
di Belanda (dengan mengirimkan surat tanda penghargaan kepada perempuan yang
mengecam penyerangan kolonial Belanda terhadap Indonesia) dan mengadvokasi
perbaikan peraturan-peraturan dalam bidang pendidikan, hukum, politik, dan
sebagainya (Baca: Sejarah Perempuan Indonesia, Cora Vreede –De Stuers).
Penggunaan kata “Ibu” membuat sebagian
besar orang memahami sebagai “Ibu” yang melahirkan seorang anak atau Ibu
kandung kita. Padahal, Ibu yang dimaksud adalah para perempuan yang saat itu
berjuang. Jadi, Ibu disini bisa berarti dia seorang guru, tante, kakak, dan
perempuan lainnya.
Jadi, semangat ditetapkannya Hari Ibu
adalah untuk mengenang kembali perjuangan Perempuan (Sekali lagi bukan hanya
Ibu) dalam meletakkan dasar-dasar kemerdekaan Republik Indonesia pada umumnya,
dan kebangkitan simbol Perempuan pada khususnya.
Ibu Transformatif
Saat ini kita sudah harus melangkah
lebih jauh. Bukan lagi sekedar mengingat kembali perjuangan para perempuan di
masa lalu, tapi apa yang bisa kita lakukan saat ini dan ke depan.
Dalam pandangan saya, generasi muda
sekarang -yang adalah calon Ibu bagi siapa pun- harus melakukan tranformasi
dalam segala hal. Baik di internal diri maupun secara eksternal. Transformasi
di sini diartikan sebagai langkah- langkah pembaruan dan pengembangan diri
untuk menghadapi dinamika kehidupan.
Pemahaman tentang posisi dan peran Ibu
yang sama serta seimbang dengan Ayah harus dibangun sejak dini. Perempuan
seyogyanya mempersiapkan diri, baik secara afektif (mental) mapun kognitif
(pemikiran) sebelum memasuki dunia rumah tangga.
Tentu kita tidak ingin menjadi Ibu
seperti yang hampir setiap hari diberitakan di media. Mengalami penekanan,
pelecehan dan penyiksaan oleh suami karena tidak mengerjakan urusan-urusan
domestik. Belum lagi bicara sanksi sosial yang datang dari cibiran masyarakat.
Di mana Ibu (perempuan) melulu diposisikan sebagai makhluk yang kodratnya harus
tinggal di rumah menjaga anak-anak, suami dan harta.
Kita ingin menjadi Ibu yang bisa
menyeimbangkan segalanya, baik urusan privat maupun urusan publik. Apapun yang
kita lakukan adalah hasil pilihan yang didasarkan pada kesadaran dan
pengetahuan yang cukup sehingga mengetahui konsekuensi yang mengikutinya.
Seorang Ibu yang cerdas akan menjadikan
dirinya sebagai contoh yang baik dan sekolah pertama bagi anak-anaknya di
rumah. Mereka tidak akan membiarkan anaknya hanya tumbuh dengan ilmu dan
pengetahuan dari sekolah formal, tapi juga dari lingkungan sekitar. Ibu akan
mendidik anaknya untuk mengerti arti kehidupan melalui sekolah kehidupan.
Sedari kecil, anak-anaknya diajarkan tentang kebesaran Tuhan yang menciptakan
keberagaman di dunia, sehingga mereka harus mensyukuri dan menghargai semua
ciptaan-Nya.
Lebih jauh lagi, semua itu idealnya
dilakukan bukan hanya saat menjadi Ibu dari anak-anak yang kita lahirkan, bahkan
dari sekarang kita telah menjadi Ibu bagi siapa pun. Seorang perempuan harus
menjadi makhluk pembelajar dalam segala hal. Ini adalah modal penting dalam
menghadapi kehidupan. Sejatinya begitulah hakikat manusia. Manusia yang selalu
belajar untuk sampai pada kebenaran yang sejati.
Oleh: Milastri Muzakkar*
*Penulis adalah mantan Kabid. Eksternal Kohati HMI Cab.
Ciputat.
(Dipresentasikan pada diskusi “Hari Ibu”, Kohati Cab.
Ciputat, 21 Desember 2012, Aula Insan Cita).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar